01 Juni 2015.
Based
on the true story
"Dek, ntar ikut doa semalaman
ya." Begitulah pesan line yang ku terima dari kak Ardo Senin siang.
Aku menghela nafas, seharusnya
Minggu kemaren aku gak usah berjanji ikut doa semalaman. Besok Selasa memang
ada libur Waisyak, jadi kalaupun aku ikut doa semalaman dan harus begadang, gak
bakalan ganggu jam kuliah ku.
"Ah... Mager banget" bisik
ku pada diri sendiri.
Tapi karena aku udah janji sama kak
Ardo dan kak Erma, maka dengan agak terpaksa aku membalas pesan itu dengan ya.
Malam pukul 18.00 WIB, aku telah
selesai mandi. Aku memakai jacket coklat kesayangan ku menutupi kaos hijau
dibaliknya. Jeans hitam ku berpadu dengan flat coklat sementara rambut
ku yang tidak begitu panjang ku gerai.
Acara doa semalam akan diadakan di kaki gunung. Udaranya pasti sangat dingin, apalagi kami harus berpergian malam
dan menggunakan motor. Untuk efisiensi, aku memutuskan untuk tidak membawa tas.
Pukul 19.00, kak Erma belum juga
datang karena suatu hal. Kak Erma memang telah memberitahuku sebelumnya bahwa
kami harus menyusul doa tersebut . Karena sejak awal aku memang agak ragu, maka
aku berniat tidur saja. Pukul 19.54 barulah ada pesan bbm dari kak Erma yang
katanya sedang otw ke kostan ku,
Sampai disini, kami tidak langsung
berangkat ke lokasi. Aku dan kak Erma menuju kontrakan kak Erma untuk
berkumpul bersama jemaat lainnya yang ikut menyusul acara doa tersebut.
Barulah, setelah nyaris pukul 21.00 WIB kami dan beberapa jemaat lainnya secara
serentak bergerak menuju lokasi.
Udara masih tidak terlalu dingin
pada saat kami berada di perempatan. Lanjut menuju jalanan utama km 5, km 10, km
15, dan seterusnya. Sebentar kami singgah disebuah burjo untuk makan malam,
kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
Angin menerpa ku yang berada di
boncengan kak Erma. Dingin mulai menusuk melewati jacket ku yang memang tidak
tebal. Penutup helm ku pasang untuk mengurangi terpaan angin malam di wajah ku.
Dingin sekali, dan aku sangat menyesal nggak membawa selendang coklat mama
ku.
Makin ke utara, udara semakin
menusuk dan suasana semakin sepi.
Aku merasa sangat bergairah dengan
suasana tenang seperti itu. Rasa mager yang tadi memenuhi hati ku
perlahan mulai ikut terhembus bersama angin malam. Jemaat lainnya melaju dengan
sangat cepat, meninggalkan motor kak Erma dan motor Kak Al dibelakang.
Dan akhirnya, sampailah kami di
kawasan yang banyak penginapannya. Secara naluriah aku menyadari bahwa kami
kini sudah berada di kawasan kaki gunung.
Sebelumnya ku sudah pernah ke daerah ini walau hanya sekali pada saat makrab jurusan disemester lalu. Namun
tampaknya suasana malam yang nyaris pukul 23.00 WIB lebih menarik adrenalin ku
dibandingkan suasana siang hari. Dua motor yang tersisa melaju kencang di jalan
beraspal. Sesekali beberapa motor warga lewat di sisi motor kami.
Entah mengapa tiba-tiba aku teringat
mimpi ku mengenai gunung berapi yang meletus beberapa minggu yang lalu.
Sembari menahan dinginnya angin, aku mulai membaca doa untuk menenangkan pikiran
itu.
Finally, dua motor terakhir, yakni motor
kak Erma dan kak Al akhirnya sampai di tempat diadakannya doa semalaman. Jemaat
lainnya tengah mengadakan puji-pujian. Aku dan kak Erma mengambil tempat di
posisi belakang.
Tubuhku terasa sangat dingin dan nyaris membeku. Sambil ikut larut dalam
puji-pujian, aku memeluk tubuh ku sendiri. Puji-pujian tersebut kemudian
diselingi dengan doa dari beberapa jemaat. Kaki ku mulai pegal berdiri, namun
aku enggan untuk duduk meskipun beberapa jemaat lainnya yang tidak tahan
berdiri telah berselonjoran di atas lantai yang diberi alas.
Setelah beberapa waktu, jemaat dipersilahkan untuk berkumpul empat sampai lima
orang untuk melakukan doa bersama-sama. Pada akhirnya kesempatan untuk duduk
pun tiba. Sambil berpegangan tangan, aku dan empat jemaat lainnya kemudian
saling mendoakan. Sekitar pukul 01.00 WIB acara selesai.
Aku mulai celingak celinguk melihat
kesana kemari, siapa tahu aku melihat seseorang dari kelompok ku.
Pada saat itulah aku melihat dia,
sebut saja Mr. Kloning.
Kenapa Mr. Kloning? Mari ku
ceritakan sedikit.
Dari enam sahabat ku, ada satu yang
bernama Ana. Ana memiliki adik laki-laki yang lebih muda setahun atau dua tahun
dari ku. Adiknya Ana sangat tampan dan membuat banyak perempuan jatuh hati.
Ari, begitulah nama adiknya Ana itu.
Ari bertubuh tinggi, kulitnya lumayan putih, dengan wajah tampan. Rambutnya
bagus dan rapi, dan senyumnya selalu melelehkan hati. Bukan hanya dari kalangan
seumurannya saja yang melirik Ari, bahkan kakak-kakak tingkat seangkatan ku juga
banyak yang tertarik kepadanya.
Ari, sikapnya cuek kepada wanita.
Bukan berarti dia kasar, tapi sepertinya dia belum menemukan wanita yang tepat
untuk jatuh hati. Ya, pria tampan memang begitu, benar-benar tidak adil.
Terakhir kali aku bertemu dengannya pada saat aku pulang ke rumah Januari 2015 kemarin.
Kami bertemu hanya sekali saja, ketika aku pulang beribadah.
Lalu apa hubungannya Ari dengan Mr.
Kloning?
Mr. Kloning ini entah bagaiman
kelihatan sangat mirip dengan Ari. Pertama kali aku melihatnya ketika dia
tengah bermain musik pada saat ibadah. Hal itu membuat ku teringat kepada Ari.
Ditambah lagi sikapnya yang kelihatan sangat mirip dengan Ari, tenang dan cuek.
Mr. Kloning berjalan keluar dari
ruangan. Aku sedikit kecewa karena tampaknya Mr. Kloning akan segera pulang.
Tiba-tiba kak Erma mengajak ku pulang. Aku sih oke oke aja. Kalau pulang jam
segini, berarti sebelum matahari terbit kami sudah sampai. Aku tidak membawa
kunci gerbang kost ku karena ekspektasi doa semalaman ini akan berakhir sekitar
pukul 03.00 WIB. Mau tidak mau aku harus menginap di tempat kak Erma.
Aku dan kak Erma berjalan keluar bangunan
itu. Di luar tampak beberapa jemaat yang hendak pulang tengah asyik
bercengkerama di parkiran, di sana ada pula Mr. Kloning. Kak Erma dan aku
bergabung bersama mereka, namun karena aku adalah seorang introvet, maka aku
hanya mendegarkan percakapan mereka sambil sesekali tertawa.
Mr. Kloning juga ada disana, sesekali dia tampak berbicara dengan jemaat
lainnya. Saatnya aku, kak Erma dan beberapa jemaat lainnya berangkat. Kami
berencana untuk mampir minum dulu sebelum turun dari atas.
Salah seorang brother
dijemaat tiba-tiba mengusulkan supaya para sister seperti aku dan kak
Erma diboncengin oleh para brother. Benar juga sih, kak Erma pasti
sangat kelelahan setelah perjalan panjang dan dingin ke lokasi doa.
"Erma, kamu sama aku aja." ucap brother Eri kepada kak Erma.
Kak Eri berpaling ke Mr. Kloning.
"Kamu boncengin sister
itu." tambah kak Eri sambil menunjuk ku.
Hah, aku merasa sedang berada di dunia fantasi. Merasa seperti disinetron alay
yang menjunjung tinggi hal-hal kebetulan yang rasanya mustahil terjadi di dunia
nyata. Aku diam, membisu, dan tak sanggup bergerak. Apa mungkin aku akan
dibonceng oleh orang yang diam-diam selalu ku curi pandang saat bermain musik
di gereja?
Aku mengambil helm dari atas motor
kak Erma.
"Kenalan dulu dong." Ucap beberapa jemaat lainnya kepada Mr. Kloning.
Mr. Kloning mendekat kepada ku dan
mengulurkan tangannya. Saat itu juga aku teringat pada Ari, ah, mereka
benar-benar mirip.
"Robi." Ucapnya singkat. Aku menyambut tangannya, tapi tidak sempat
menyebutkan namaku karena jemaat lainnya bersuit-suit menyebalkan. Ah,
sudahlah, dia juga tidak perlu tahu nama ku, lagi pula dia hanya akan
memboncengi ku sampai tempat makan. Selanjutnya, Kak Erma yang akan memboncengi
ku menuju kontrakannya, jadi kebersamaan kami hanya akan berlangsung beberapa
menit.
Meskipun begitu, aku tidak bisa menahan rasa bahagia di hati ku. Dia naik ke
atas motor kak Erma. Tiba-tiba keluar kata-kata yang sangat menyebalkan
darinya:
"Ayo, kak." Aku diam dan
memandanginya.
"Kak?" Ucap ku dengan
keras. Aku tidak tahu dia memang tidak mendengarnya atau pura-pura tidak
mendengar.
Motor kami mulai bergerak. Sesekali, saat motor jemaat lain tengah melaju di
sisi motor kami, mereka berteriak cie.. cie... kepada kami berdua. Aku tidak
bisa menahan senyum ku. Ku harap dia tidak melihatnya melalui spion.
Tiba-tiba dia membuka pembicaraan. Aku lupa apa tepatnya, tapi kami mulai
berkenalan lebih lanjut.
Robi: "Kak Leon jurusan apa?"
Leon: "Kak? Kok kakak?
Mmm, aku jurusan ***."
Robi: "Loh, emang kamu angkatan
berapa?"
Leon: "censored, kak
Robi?"
Robi: "Aku censored. ***
apa?"
Leon: "*** doang. Kak Robi
jurusan apa?"
Robi: "Pendidikan."
Leon: "Pendidikan?"
Robi: "Seni musik"
Leon: "Di?"
Robi: "Universitas Negeri"
Leon: "Oh."
Robi: "Negeri apa hayo?" (Menantang)
Leon: "XYZ kan."
Robi: "Yupp. Leon asalnya
dari mana?"
Leon: "Kok Kakak bisa tau nama
ku" (Sampai detik itu, aku belum memperkenalkan nama)
Robi: "Tadi kan udah
kenalan"
Leon: "Aku kan nggak ngasi tau
nama ku" (Pasang wajah curiga penuh kemenangan)
Robi: "Eh, masa iya? Hmm,
berarti tadi aku dengar dari Kak Ian."
Leon: "Oh. Aku asalnya dari
***"
Robi: "Oh ya, aku juga dari
sana. Dimana di ***"
Leon: "Di ***"
Robi: "Lah, itu mah bukan ***.
Sorry ya, aku kurang tau sih kalau kampung-kampung
kayak gitu"
Leon: (Dalam hati: Kampung ndas
mu, ni orang nyebelin banget.) "Iya deh Kak Rob"
(Cemberut)
Robi: "Eh, nama ku bukan Robi.
Tadi itu becanda." Ucapnya sambil tertawa
Leon: (Pantas aja tadi jemaatnya
pada bersuit-suit ria) "Terus, nama kakak siapa?"
Robi: ****** (Sensor) Untuk
tujuan keamanan aku akan tetap menggunakan nama Robi atau Mr. Kloning.
Leon: "Wah, namanya panjang
banget. Nama panggilannya siapa?"
Robi:
"Panjang banget ya. Hmm... Aku biasa dipanggil ***** sih"
Leon: (Aku tidak mendegar dengan
jelas karena angin yang kencang)"Siapa?"
Robi: (Berteriak sambil
menyebutkan namanya) "****"
Leon: "Ah, sorry-sorry"
Robi: "Eh, kamu merasa dibentak
ya?"
Leon: "Iya."
Robi: "Aduh, maaf, tadi itu
bukan membentak."
Leon: "Iya, gak papa."
Hening beberapa saat.
Robi: "Kamu ada ketertarikan sama apa aja?"
Leon: (Kaget) "Hah?
Ehmmm. Membaca, nonton"
Robi: "Baca apa?" Leon: "Komik, novel."
Robi: "Novel gimana?"
Leon: "Horror, romantis"
Robi: "Romantis? Hmm, aku gak
terlalu suka. Nonton apa aja?"
Leon: "Horror, anime"
Robi: "Anime? Anime itu yang
gimana?"
Leon: "Hmm, yang kaya Ultra
Maniac, Naruto, dll"
Robi: "Kamu suka Naruto?"
Leon: "Dulu, sekarang nggak
lagi. Aku nggak ngikutin lagi soalnya."
Robi: "Oh, suka Korea
nggak?"
Leon: "Nggak terlalu."
Robi: "Yah..." (Dengan
nada kecewa.) "Aku suka banget Korea."
Leon: (Tersenyum)
Robi: "Kamu suka musik yang gimana"
Leon: (Yah, pertanyaan yang
melemahkan urat nadi. Aku sama sekali nggak ngerti musik)
"Ehmm, ngak
ada yang khusus sih."
Robi: "Nggak terlalu suka musik
ya?"
Leon: "Suka, kak.”
Pembicaraan kami terus berlanjut,
sebagian besar sengaja ku hilangkan dan sebagiannya lagi memang karena aku
lupa.
Cukup lama kami berbincang-bincang
karena secara kebetulan gerombolan kami yang tengah mencari warung Teh Poci
tempat minum itu tersesat kesana kemari dan berkali-kali. Aku tersenyum,
menyadari bahwa alam tampaknya berpihak kepada ku. Aku belum ingin mengakhiri
pembicaraan ini, maka aku berharap kami tersesat lebih lama lagi.
Baru kali ini aku berbicara dengan
orang asing sebanyak ini.
Dia cukup ramah walaupun beberapa
ucapannya menyebalkan. Sesekali saat berpapasan dengan teman jemaatnya yang
juga tengah membonceng seorang sister, dia berteriak cie... cie. Begitu
juga dengan temannya, balas mengatakan cie... cie.
Warung Teh Poci akhirnya kami temukan. Rasa sedih merambat kedalam hati ku.
Berakhir sudah perjalanan indah malam ini. Selagi memasuki kawasan warung aku
menatap kelangit, memandangi bulan besar yang tengah bersinar.
Robi: "Kamu gak suka jalan-jalan ya?"
Leon: "Gak terlalu sih, kalau
rame-rame begini."
Robi: "Oh, kamu gak suka
rame-rame ya. Sama, aku juga."
Motor di parkirkan. Aku meninggalkannya dan menuju kak Erma. Aku tidak duduk
semeja dengan Mr. Kloning, tapi sesekali aku meliriknya. Lama kami singgah di
warung Teh Poci. Saatnya pulang. Aku merapat ke kak Erma. Berakhir sudah,
berakhir sudah, ucapku dalam hati.
Tapi perkiraan ku salah. Ku lihat kak Erma menjauh, menuju motor kak Eri. Lah,
kak Erma bareng kak Eri? Berarti aku? Aku? Aku bareng si Kloning lagi dong? Aku
gak tahu harus senang atau bagaimana. Perjalanan menuju kontrakan kak Erma
masih panjang. Itu artinya aku masih bisa berbincang-bincang bersamanya.
Sambil tersenyum, aku duduk di belakangnya. Dan... Motor pun mulai melaju
kencang. Dia tampak ngebut di tengah jalan sepi. Padahal aku berharap dia memperlambat
motornya.
Kami tidak banyak berbincang-bincang
pada saat pulang. Sesekali dia masih berteriak cie kepada temannya. Sisanya,
aku hanya diam hening, sambil melirik bulan. Ya, aku benar-benar melirik bulan
dan berbicara kepadanya, mengucapkan terimakasih buat salah satu malam terindah
selama pertengahan tahun ini.
Robi: "Kamu pake jacket kan?"
Leon: "Pake, kak."
Robi: (Memperbaiki jacketnya)
Untuk sesaat aku berharap dia memberikan jacketnya kepada ku, karena udara
sangat dingin ditambah motor yang melaju kencang. Sesekali dia meminta maaf
saat dia melewati jalan yang tidak mulus dan menyebabkan motor agak melonjak.
Robi: "Leon, Kostan kamu dimana?"
Leon: "****"
Robi: "Ntar kita lewati
nggak?"
Leon: "Kayaknya iya."
Robi: "Ntar kalau lewat kasi
tau ya."
Hening lagi. Lama kemudian dia
berbicara lagi.
Robi: "Leon?"
Leon: "Iya?"
Robi: "Kamu tidur?"
Leon: "Nggak kok, kak."
Robi: "Terus, kok nggak
ngomong?"
Leon: (Diam)
Hening lagi. Lama sekali. Aku hanya memandangi keadaan sekitar. Mr. Kloning
juga diam lama sekali. Aku sangat kedinginan.
Robi: "Leon?"
Leon: "Iya?"
Robi: "Kamu tidur?"
Leon: "Nggak kak."
Robi: "Terus, kok nggak
ngomong?"
Leon: "Ya, gak apa-apa'"
Hening lagi. Kali ini lebih lama.
Robi: "Leon, kamu mau ke
kostan atau gimana?"
Leon: "Ke kontrakan kak
Erma."
Robi: "Oh, okay."
Lagi-lagi hening. Aku berbicara kepada bulan tentang pagi yang indah ini. Kami
mulai mendekati jalan utama bagian bawah. Yah, sebentar lagi dan pagi indah ini akan
berakhir.
Di sebuah perempatan, lampu
menunjukkan warna merah. Motor kak Erma dan motor kak Al berhenti. Namun tidak
lama, mereka segera melaju menembus lampu merah yang memang sepi.
Robi: "Ih, kami gak mau ah terobos lampu merah."
Leon: (Tersenyum)
Taman Mr. Kloning yang tengah melaju
tampak berteriak menggoda. Pada akhirnya kami ikut menerobos lampu merah itu.
Sekali lagi, Robi bertanya.
Robi: "Leon?"
Leon: "Iya?"
Robi: "Kamu tidur?"
Leon: "Nggak kak."
Robi: "Terus, kok nggak
ngomong?"
Leon: "Emang ada yang perlu
diomongin kak?"
Robi: "Gak sih."
Pada saat melaju menuju kontrakan kak Erma, kami bersisipan dengan teman Mr.
Kloning yang sedari tadi saling menggoda. Mr. Kloning berusaha meraih mereka
sambil membawa motor, sehingga motor sedikit oleng. Dasar, bukannya berhenti,
dia malah terus melakukannya, sampai akhirnya motor melewati jalan yang bolong
dan kami tergoncang cukup keras.
Robi: "Sorry-sorry"
Aku hanya diam karena sedikit kesal.
Sesampainya di kontrakan rumah kak
Erma saat hendak turun dari motor, aku sedikit kesandung dengan sangat
memalukan. Pada akhirnya aku lansung masuk ke dalam kontrakan kak Erma tanpa
mengucapkan terimakasih.
*Maaf jika banyak yang disensor.
Berhubung judulnya "Mr. Kloning
Bagian 1", aku berharap aku dan Mr. Kloning punya cerita lain untuk
diceritakan sehingga aku bisa menerbitkan tulisan "Mr. Kloning Bagian
2" dan seterunya. :)